Rabu, 23 September 2015

Aku Untuk Indonesia Kita

Saya pribadi mendefinisikan kalimat tersebut dalam sebuah kata, ‘pengabdian’. Pengabdian untuk Indonesia yang lebih baik di masa depan. Perubahan untuk Indonesia yang lebih baik tentu adalah dambaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka dari itu, perubahan sejatinya juga harus menjadi cita – cita bersama, khususnya para pemuda.

Untuk mewujudkan sebuah perubahan bangsa yang lebih baik maka Indonesia membutuhkan suatu generasi perubahan, bukan lagi generasi penerus. Generasi perubahan merupakan generasi dengan intelektualitas dan integritas yang baik. Generasi perubahan adalah generasi yang mmampu menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih terhormat di mata dunia.

Sementara itu, Pemuda akan selalu menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah maupun pencapaian cita-cita bangsa ini. Berhasil tidaknya perubahan bangsa kedepan, sangat tergantung pada bagaimana generasi muda berperan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Apalagi tantangan persaingan global kedepannya sudah semakin nyata.

Harus diakui bahwa pembangunan di Indonesia sampai saat ini memang belum sepenuhnya merata. Masih banyak daerah yang belum tersentuh pembangunan, meskipun memiliki potensi yang cukup besar. Disinilah kemudian peran pemuda, terutama pemuda asli daerahnya untuk berada di barisan terdepan untuk kemajuan daerah dan Bangsanya.

Menurut hemat penulis, peran pemuda termasuk saya pribadi, dalam upaya menjadi generasi perubahan dapat disederhanakan dalam prinsip “Kontribusi RI”, yaitu peran Kontribusi, Relasi dan Inovasi.

Kontribusi, yang berarti berbuat. Artinya generasi muda berperan nyata untuk mengembangkan daerahnya, tanpa harus menunggu program pemerintah. Kita dapat memulainya dari hal-hal kecil, dengan melakukan aksi pada bidang atau keahlian masing-masing. Misalnya mengajar anak-anak marjinal, edukasi produktif ibu-ibu rumah tangga, gerakan peduli lingkungan, dan sebagainya.

Selanjutnya adalah Relasi, yang mengandung makna bahwa generasi muda harus berperan aktif dalam menjaga persatuan dan kesatuan. Artinya dapat menjalin hubungan baik atau silaturahmi antar sesamanya tanpa membedakan latar belakang suku, agama, budaya, maupun status sosial lainnya. Disinilah kita tanamkan rasa Nasionalisme dan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, dengan prinsip ini generasi muda juga dapat berkolaborasi dan bersinergi dengan pemuda dari berbagai daerah. Sehingga akan terjadi pertukaran ide, gagasan, pemahaman budaya dan toleransi, bahkan saling mendukung, yang muaranya tentu adalah kemajuan Bangsa,

Terakhir adalah Inovasi, yang berarti adanya terobosan-terobosan baru yang penuh dengan kreatifitas. Generasi muda juga hendaknya dapat melakukan perubahan di masyarakat dengan pengetahuan dan teknologi yang efektif, tanpa harus meninggalkan kearifan budaya asli atau “local wisdom”. Sehingga terlahir sumberdaya manusia yang berdaya saing dalam berbagai sektor, terutama pada bidang pendidikan dan ekonomi, tetapi tetap bangga dan menjaga identitas daerahnya masing-masing.

Akan tetapi, kesemuanya itu harus diawali dengan “Kesadaran untuk Peduli. Baru kemudian Peduli untuk menyadarkan“.Artinya Pemuda harus menyadari dan peduli akan perannya terlebih dahulu, baru dapat menularkannya kepada generasi muda lainnya.

Saya pribadi percaya, bahwa suatu perubahan atau hal besar selalu dimulai dengan langkah maju dan tindakan kecil. Karena menurut saya, ‘pengabdian’ itu juga kata kerja. Saat ini, langkah kecil untuk pengabdian yang telah saya lakukan adalah dengan aktif menjadi bagian dari beberapa kegiatan dan komunitas sosial.


Saya menyukai kegiatan yang berkaitan dengan pendampingan dan pengembangan anak. Saya mengikuti beberapa komunitas dan Yayasan seperti YOAM (Yayasan Onkologi Anak Medan) dan Komunitas Aferesis Medan untuk men-support adik-adik Pejuang Kanker. Kemudian ada komunitas Triple-P (Pemuda Peduli Panti) untuk Adik-adik Panti Asuhan, serta KKSP (Kelompok Kerja Sosial Perkotaan) untuk Anak-anak Jalanan dan kurang mampu.


"Kalau Bukan untuk Indonesia, Apa Lagi. Kalau Bukan Pemuda, Siapa Lagi."(SURYADI-AIYEP’15)

Selasa, 08 September 2015

ULOS : Tradisi Tenun Batak yang Tak Lekang Oleh Waktu (Bagian 2)

Sebelumnya kita telah membahas sekilas tentang ulos dan beberapa fungsi utamanya bagi masyarakat suku batak. Ulos biasa digunakan dalam upacara atau ritual adat yang meliputi rangakain peristiwa hidup manusia, yaitu kelahiran, menikah, dan duka cita (kematian). Berikutnya, kita akan mengupas tentang Jenis-jenis Ulos sekaligus dengan fungsi khususnya.

1. Ulos Ragi Hidup
Adalah ulos yang dianggap paling sakral bagi masyarakat suku batak. Karena ulos ini akan selalu ada pada setiap acara ritual adat, dalam semua situasi, baik kelahiran, menikah, atau berduka cita. Ulos ini biasa digunakan oleh raja adat atau pemimpin acara.


2. Ulos Ragi Hotang
Hotang berasal dari kata Rotan yang dapat dimaknai dengan bentuk ikatan yang kuat. Sesuai dengan nilai filosopisnya, ulos ini biasa digunakan untuk acara pernikahan.


3. Ulos Mangiring
Ulos ini biasa digunakan untuk menyambut kelahiran atau mengiringi kehadiran seorang bayi ke muka bumi.Biasasnya ulos ini juga diberikan para orangtua kepada anaknya yang akan pergi merantau.


4. Ulos Sibolang
Kalau ulos yang satu ini khusus digunakan untuk menyambut para tamu adat di acara pesta adat. Biasa diberikan oleh tuan rumah kepada para tamu undangan.


5. Ulos Lobu-lobu
Ulos ini khusus digunakan untuk acara dengan suasana dukacita, seperti bila ada orang yang meninggal dunia. Para Keluarga terdekat biasa 'mangulosi' atau memberikan ulos kepada pihak yang sedang berduka.


6. Ulos Suri-suri
Ulos ini secara khusus digunakan hanya untuk kalangan perempuan. Karena memang pada zaman dahulu, pembuatan ulos itu sendiri hanya boleh dilakukan oleh para perempuan.


7. Ulos Sadum
Orang batak termasuk sangat ramah kepada para pendatang. tak jarang mereka juga memberikan buah tangan atau oleh-oleh sebagai bentuk kasih sayang dan hormat mereka. Ulos ini adalah yang paling banyak ditemui di masyarakat maupun di pusat pasar. Karena ulos ini memang biasa diberikan untuk souvenir. Warna dari ulos ini juga dapat dibuat sangat beragam.



Ulos Masa Kini

Namun seiring dengan perkembangan zaman, ulos pun turut mengalami perkembangan positif. Ulos dapat mengikuti perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan prinsip budaya tradisionalnya. Menurut penulis, ada beberapa perkembangan dari ulos masa kini, yaitu ;
Pertama, ulos tak lagi sebatas produk kain selendang. Saat ini ulos telah dikembangkan menjadi beberapa produk modern seperti baju, bahkan jas. Kedua adalaj ulos juga saat ini tak hanya terbatas bagi orang suku batak saja, artinya semakin terbuka terhadap pendatang. Ulos juga tidak hanya digunakan pada acara ritual tradisional, tapi juga sudah pada event-event resmi seperti acara kenegaraan. Dan yang terakhir, ulos masa kini juga sudah telah berkembang menjadi tren mode untuk beberapa desain produk lainnya, yang mengusung konsep modern tapi dengan tetap menjaga nilai-nilai filosopis asli tradisional Bataknya.


*Foto-foto diolah dari berbagai sumber

Dengan perkembangan yang demikian, ulos seharusnya tak akan lekang oleh waktu. Ini menjadi tugas kita sebagai warga negara untuk menjaga aset budaya bangsa kita sendiri. Semoga.

ULOS : Tradisi Tenun batak yang Tak Lekang Oleh Waktu (Bagian 1)

Apa yang terlintas di benak anda saat mendengar kata “Ulos”?
Batak, Sumatera Utara, Kain atau mungkin Menikah ? :D


ULOS merupakan kain tenun tradisional yang khas berasal dari Suku Batak, Sumatera Utara. Biasanya berupa kain panjang yang memiliki jenis dan fungsi yang beragam pula. Pada zaman dahulu, ulos sendiri digunakan sebagai kain penghangat badan, terutama di malam hari karena cuaca yang dingin di daerah antara lembah gunung bukit barisan dan danau toba. Bagi masyarakat Batak, Ulos adalah seperangkat bagian dari adat-istiadat yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan.

Setiap ulos pun kemudian mempunyai makna atau filosofi tersendiri. Ada tiga warna dasar dominan yang menjadi nyawa dalam pembuatan ulos, yaitu Putih, Merah, dan Hitam. Warna Putih melambangkan Kesucian, Merah yang melambangkan Keberanian dan kebahagiaan, serta warna Hitam yang melambangkan kekuatan, artinya adanya sisi misterius atau gaib yang berada diluar kekuatan atau nalar manusia dalam mengatur semua peristiwa hidup manusia.

Secara umum, ulos memang digunakan sebagai pelengkap budaya dalam ritual adat. Namun ada tiga fungsi utama ulos yang sering digunakan, dimana ketiga fungsi ini merupakan sebuah rangkaian kehidupan manusia, yaitu :
1. Menyambut Kelahiran
2. Merayakan Pernikahan
3. serta Berkabung


Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa ulos memilki jenis yang sangat beragam. Namun ada beberapa jenis ulos dengan fungsi khusus yang paling sering kita temui di tengah-tengah masyarakat suku batak. Kita akan membahasnya di bagian berikutnya ya. Mauliate !(Terima Kasih).

FAHOMBO : Tingginya Harga Diri Tradisi Lompat Batu Nias

Masih ingat dengan gambar yang satu ini? Ya, Tradisi Lompat Batu Nias.
Ternyata tradisi yang satu ini pernah diabadikan dalam alat tukar sah Negara kita, Indonesia. Uang pecahan seribu rupiah ini dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada tahun 1992 yang lalu.


Lompat batu Nias adalah sebuah kebudayaan dari olahraga tradisional khas Suku Nias, Sumatera Utara. Masyarakat Nias menyebutnya dengan istilah “Fahombo”, berasal dari kata ‘Hombo” yang berarti ‘melompat’.

Hombo Batu atau Lompat Batu sendiri bagi masyarakat suku Nias adalah sebuah ritual khusus yang harus dilalui bagi setiap anak laki-laki Nias yang sudah beranjak dewasa. Biasanya ritual lompat batu ini juga diikuti dengan iringan tari 'faluya' yaitu sebuah tarian perang khas suku nias.

Foto Oleh : @Barry_Kusuma

Anak laki-laki yang sudah mampu menaklukkan tumpukan batu dengan tinggi mencapai dua meter lebih ini, dianggap sudah dewasa dan siap untuk hidup mandiri. Pada zaman dahulu, para pemuda ini disiapkan untuk menjadi prajurit perang dan boleh menikah. Lebih jauh, Fahomo adalah simbol harga diri lelaki Suku Nias.

Batu yang harus dilompati adalah seperti sebuah monumen berbentuk piramida tapi dengan permukaan bagian atasnya lebih datar. Bebatuan tersebutpun berasal dari alam, yang kemudian dibentuk persegi dengan ukuran 60x90 cm. Beberapa langkah dari tumpukan batu, ada sebuah batu yang lebih besar yang berfungsi sebagai tumppuan lompatan.


Sampai saat ini, kita masih dapat menyaksikan tradisi Fahombo atau lompat batu nias ini di Desa Baweu Mate Luwo. Sebuah desa kecil di dataran tinggi di daerah Nias Selatan.

Baweu Mate Luwo sendiri artinya Bukit Matahari. Di desa ini masih terasa kental kehidupan tradisional asli suku Nias. Rumah-rumahnya pun masih merupakan bangunan khas nias yang mereka kenal dengan sebutan ‘Omo Hada’. Rumah beratap rumbia dan konstruksi dengan kayu hutan asli ini tampak berjejer di sepanjang desa ini dengan ukuran yang sama.


Ditengah- tengah kampung ini terdapat pula sebuah rumah yang tampak lebih besar yang menjadi tempat tinggal raja kampung tersebut. Masyarakat suku nias setempat menyebutnya dengan 'Omo Sebua'. Konon katanya, rumah ini dahulu didesain khusus untuk anti gempa dengan pondasi dari batang pohon besar yang dibuat saling bersilangan.


Masyarakat penduduk nias di desa Baweu Mate Luwo pun sangat ramah terhadap para pendatang. Ini terlihat bagaimana para turis atau wisatawan asing maupun domestik semakin banyak yang datang mengunjungi tempat ini. Selain pemandangan alam pantai yang sangat indah, tentunya ingin menyaksikan atraksi Fahambo atau Lompat Batu Nias yang unik dan langka itu.
Tertarik berkunjung kesini?